Minggu, 26 Juni 2011
Pkl. 11:39 WIB
Hari ini aku mampu mengajar dengan baik. Aktifitas yang diberikan pun dapat dipahami dan dikerjakan dengan baik oleh adik-adik layan sehingga memberikan kecerian yang nampak jelas dari wajah dan mata mereka.
Puji Tuhan!
Selang beberapa menit, kecerian adik-adik layan tersebut akhirnya sirna ketika mereka diperhadapkan dalam situasi yang menekan mereka. Hal ini terjadi ketika proses pengajaran telah berakhir, datanglah kedua orangtua dari seorang adik layan kami. Kedatangan ini tidak diketahui oleh kakak layan yang saat itu sedang mengajar. Mereka tidak mampu mengendalikan emosi dan perkataan yang disampaikan pun terlalu berat untuk dikonsumsi oleh anak-anak bahkan mampu memberikan tekanan psikologis bagi mereka sehingga ada anak yang menangis dengan tersedu-sedu, kebingungan bahkan ada yang menahan tangis.
Melihat hal ini, aku pun kaget. "Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini?, seruku dalam hati."
Anak-anak ini memang berkata seperti yang dituduhkan oleh kedua orang tua itu kepada teman mereka tetapi bagi mereka itu hanya sekedar bercanda. Candaan ini ternyata diterima sebagai suatu hal yang serius, yang menyakitkan hati oleh seorang anak. Seorang anak yang bersama kedua orangtuanya sedang berdiri di hadapan kami. Kami memahami bahwa sifat seseorang itu berbeda satu dengan yang lainnya tetapi,
Apakah hal inilah yang pantas dilakukan oleh orangtua tersebut? Apakah hal ini justru memberikan keuntungan kepada mereka? Apakah inilah tujuan dari kedatangan mereka?
Hal yang menganehkan lagi, Bapak tersebut justru mengatakan tidak bisa dengan begitu mudahnya memaafkan anak-anak tersebut. Kedua orangtua ini pun menangis tersedu-sedu karena tidak pernah terpikirkan bahwa anak mereka akan mendapatkan penghinaan yang sudah melibatkan unsur gender dalam hal ini. Mereka tidak menerima bahwa hal itu terjadi di Gereja, tempat mereka bersekolah minggu yang merupakan suatu lembaga Kristen.
Para pelayan/pengajar Sekolah Minggu memang kaget mengapa hal ini dapat terjadi. Kami memang kurang kontrol dalam kelas tetapi jangan menyalahkan kami sepenuhnya karena anak-anak pastilah mengikuti teladan dari orang yang lebih tua dari mereka, mungkin juga pergaulan memainkan peran penting dalam hal ini. Kami hanya mempunyai waktu 1,5 jam/minggu untuk bersama dengan mereka. Kakak-kakak layan memang kurang tanggap/koordinasi tetapi orangtua tersebut terlalu emosional. Seharusnya hal seperti ini sebelum dibicarakan dengan anak-anak seharusnya orang tua telah terlibat dalam pembicaraan bersama kakak-kakak layan terlebih dahulu.
Siapa yang diuntungkan dalam situasi seperti ini?
Tidak ada!
Kami perlu berbenah diri sebagai seorang pelayan/pengajar. Hal ini menjadi evaluasi bagi kami sehingga koordinasi, materi yang disampaikan, aktivitas yang diberikan perlu diperbaiki, ditingkatkan dan hendaknya membangun anak-anak bukan menjadi celah bagi mereka dalam menghina satu sama lain. Ini karena pada kasus ini, penghinaan tersebut berlangsung di dalam kelas ketika aktifitas diberikan. Ketika itu aktivitas diberikan secara berkelompok dan ada sanksi bagi kelompok yang kalah. Situasi inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan candaan bagi anak-anak yang mengarah pada bias gender dan mengakibatkan kejadian seperti hari ini terjadi.
Orangtua pun selayaknya mampu mengontrol emosi dengan baik dan pembicaraan yang sifatnya menekan perasaan anak dengan kata-kata serta sikap yang sepantasnya dikonsumsi oleh orang dewasa dapat dihindari. Orangtua seharusya berkomunikasi terlebih dulu dan bersifat terbuka dengan kakak-kakak layan. Jangan menumpahkan semuanya di depan anak-anak.
Pahamilah aspek psikologis mereka!Ini memang kewajiban orangtua dalam membela, memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya tetapi pikirkan juga perasaan anak-anak lain yang menerima perkataan dan perbuatan tersebut.
Pembelajaran hari ini, memberikan saya suatu kekuatan, perspektif yang baru dalam menghadapi dan hidup dalam dunia ini.
No comments:
Post a Comment