6.26.2011

ASPEK PSIKOLOGIS SEORANG ANAK DITINJAU DARI PERLAKUAN GURU DAN ORANGTUA

Minggu, 26 Juni 2011
Pkl. 11:39 WIB

Hari ini aku mampu mengajar dengan baik. Aktifitas yang diberikan pun dapat dipahami dan dikerjakan dengan baik oleh adik-adik layan sehingga memberikan kecerian yang nampak jelas dari wajah dan mata mereka.
Puji Tuhan!
Selang beberapa menit, kecerian adik-adik layan tersebut akhirnya sirna ketika mereka diperhadapkan dalam situasi yang menekan mereka. Hal ini terjadi ketika proses pengajaran telah berakhir, datanglah kedua orangtua dari seorang adik layan kami. Kedatangan ini tidak diketahui oleh kakak layan yang saat itu sedang mengajar. Mereka tidak mampu mengendalikan emosi dan perkataan  yang disampaikan pun terlalu berat untuk dikonsumsi oleh anak-anak bahkan mampu memberikan tekanan psikologis bagi mereka sehingga ada anak yang menangis dengan tersedu-sedu, kebingungan bahkan ada yang menahan tangis. 
Melihat hal ini, aku pun kaget. "Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini?, seruku dalam hati."
Anak-anak ini memang berkata seperti yang dituduhkan oleh kedua orang tua itu kepada teman mereka tetapi bagi mereka itu hanya sekedar bercanda. Candaan ini ternyata diterima sebagai suatu hal yang serius, yang menyakitkan hati oleh seorang anak. Seorang anak yang bersama kedua orangtuanya sedang berdiri di hadapan kami. Kami memahami bahwa sifat seseorang itu berbeda satu dengan yang lainnya tetapi, 
Apakah hal inilah yang pantas dilakukan oleh orangtua tersebut? Apakah hal ini justru memberikan keuntungan kepada mereka? Apakah inilah tujuan dari kedatangan mereka?
Hal yang menganehkan lagi, Bapak tersebut justru mengatakan tidak bisa dengan begitu mudahnya memaafkan anak-anak tersebut. Kedua orangtua ini pun menangis tersedu-sedu karena tidak pernah terpikirkan bahwa anak mereka akan mendapatkan penghinaan yang sudah melibatkan unsur gender dalam hal ini. Mereka tidak menerima bahwa hal itu terjadi di Gereja, tempat mereka bersekolah minggu yang merupakan suatu lembaga Kristen.

Para pelayan/pengajar Sekolah Minggu memang kaget mengapa hal ini dapat terjadi. Kami memang kurang kontrol dalam kelas tetapi jangan menyalahkan kami sepenuhnya karena anak-anak pastilah mengikuti teladan dari orang yang lebih tua dari mereka, mungkin juga pergaulan memainkan peran penting dalam hal ini. Kami hanya mempunyai waktu 1,5 jam/minggu untuk bersama dengan mereka. Kakak-kakak layan memang kurang tanggap/koordinasi tetapi orangtua tersebut terlalu emosional. Seharusnya hal seperti ini sebelum dibicarakan dengan anak-anak seharusnya orang tua telah terlibat dalam pembicaraan bersama kakak-kakak layan terlebih dahulu.
Siapa yang diuntungkan dalam situasi seperti ini?
Tidak ada!
Kami perlu berbenah diri sebagai seorang pelayan/pengajar. Hal ini menjadi evaluasi bagi kami sehingga koordinasi, materi yang disampaikan, aktivitas yang diberikan perlu diperbaiki, ditingkatkan dan hendaknya membangun anak-anak bukan menjadi celah bagi mereka dalam menghina satu sama lain. Ini karena pada kasus ini, penghinaan tersebut berlangsung di dalam kelas ketika aktifitas diberikan. Ketika itu aktivitas  diberikan secara berkelompok dan ada sanksi bagi kelompok yang kalah. Situasi inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan candaan bagi anak-anak yang mengarah pada bias gender dan mengakibatkan kejadian seperti hari ini terjadi.

Orangtua pun selayaknya mampu mengontrol emosi dengan baik dan pembicaraan yang sifatnya menekan perasaan anak dengan kata-kata serta sikap yang sepantasnya dikonsumsi oleh orang dewasa dapat dihindari. Orangtua seharusya berkomunikasi terlebih dulu dan bersifat terbuka dengan kakak-kakak layan. Jangan menumpahkan semuanya di depan anak-anak.
Pahamilah aspek psikologis mereka! 
Ini memang kewajiban orangtua dalam membela, memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya tetapi pikirkan juga perasaan anak-anak lain yang menerima perkataan dan perbuatan tersebut.

Pembelajaran hari ini, memberikan saya suatu kekuatan, perspektif yang baru dalam menghadapi dan hidup dalam dunia ini.
  



Sekolah Minggu part 1

Minggu, 26 Juni 2011
Pukul 01.48 WIB

Iringan suara cicak menghantar saya mengetik semua hal yang akan saya ceritakan besok, hmmm, sedikit horor sih tapi di bawa  santai aja... Hehehehehe

Akhirnya persiapan buat mengajar Sekolah Minggu besok selesai sudah. Praise the Lord!!!!
Hal-hal yang perlu diingat..

Tema                 :  Allah berkuasa atas musim
Bacaan Alkitab  :  Ulangan 11 : 13-17

Menurut saya, tema tersebut tidak mencakup keseluruhan bacaan Alkitab yang diberikan. Kalau saja besok penceritaannya hanya berfokus pada kuasa Allah atas musim, sepertinya tidak menarik padahal nasehat yang disampaikan oleh Musa kepada bangsa Israel lebih dari kuasa atas musim.

Bacaan ini bercerita tentang Musa yang memberikan wejangan kepada Bangsa Israel. Ini perlu karena Musa merasa bahwa generasi yang lahir di padang gurun, yang hendak memasuki tanah kanaan, merupakan generasi yang belum mengetahui dan mendengar nasehat yang disampaikan Musa sewaktu di Gunung Sinai. Oleh karena itu, ketika tiba di Moab (perjalanan yang memakan waktu hampir 40 tahun), Musa menyampaikan nasehat kembali kepada Bangsa Israel. Nasehat ini berisi suatu perintah agar bangsa Israel tetap menaati dan berpegang pada seluruh perintah Allah yakni harus mengasihi-Nya dan hanya beribadah kepada Allah saja, karena dengan demikian Tuhan akan menurunkan hujan untuk membuat tanah menjadi subur sehingga mampu menghasilkan gandum, anggur dan hewan pun agak gemuk karena hujan juga memberikan pertumbuhan pada rumput tetapi akan terjadi sebaliknya, jika Bangsa Israel melakukan hal yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan.

Aktifitasnya:
1. Anak2 akan menjelajah peta utk mencari Moab dan menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang  Moab!
2. Berhitung ala Bangsa Israel dengan menggunakan nilai angka dari abjad Ibrani
3. Diskusi tentang pembacaan dan perenungan Firman Tuhan

Yah, sekian intisari dari cerita dan aktifitas yang besok akan saya ajarkan. 

Doa : 
Tuhan berkati dan lindungilah saya di malam ini, biarkanlah saya mampu bangun pada esok hari dengan keadaan yang sehat sehingga saya mampu mengajar/melayani dengan sebaik-baiknya. Amin

Etis atau tidak ?

Minggu, 26 Juni 2011

Cerita ini merupakan suatu pengalaman suka dan duka bersama Yoan dan Lastri dalam proses mengerjakan tugas akhir dari Mata Kuliah Eklesiologi

        Pada awalnya saya membuat makalah eklesiologi dengan penuh sukacita. Saya memilih judul ini karena konsep gereja sebagai peziarah adalah salah satu dogma dari gereja Katolik Roma sehingga pastilah tersedia banyak literatur yang memudahkan dalam pembuatan makalah ini. Selain itu, saya yakin bahwa wawancara dengan Romo dapat membantu saya guna penyelesaian makalah ini.
       Saya mulai pergi mengunjungi St. Paulus Miki bersama Lastri untuk membuat janji wawancara dengan Romo namun batal karena kesibukan beliau. Keesokan harinya saya dan Yoan pergi mencari Gereja Kristus Raja di Tegalrejo. Walaupun sempat tersesat namun akhirnya kami dapat menemukan lokasi dari gereja tersebut. Berdasarkan informasi yang diterima dari salah satu jemaat yang disegani di gereja tersebut ternyata Romo juga memiliki kesibukan dan ia menyarankan agar kami pergi ke Ambarawa setelah mendengar penjelasan mengenai makalah yang akan kami tulis.
       Pada hari itu juga, saya bersama Yoan dan Lastri pergi ke Ambarawa di sana kami bertemu dengan Bpk. Y. B. Suparanto. Beliau sangat ramah dalam melayani kami. Beliau bahkan mengatakan alangkah lebih baiknya jika kalian datang besok untuk menghadiri Misa yang akan dipimpin oleh Uskup Agung Semarang, Mgr Pujasumarta. Kalian dapat bertanya dengan beliau setelah Misa dilaksanakan. Kami sangat senang bahkan menyerahkan selembar kertas yang berisi judul makalah kami.
      Keesokan harinya, pada pukul 18.00 WIB kami telah tiba di Ambarawa dengan selamat dan mengikuti Misa dengan penuh sukacita. Kami bahkan diterima dengan baik oleh Pak Madi, orang kepercayaan dari Uskup Semarang dan tamu-tamu yang datang dari Jakarta pada waktu itu. Kami mendapat makanan dan pulang juga dengan membawa makanan. Kami sempat berbincang-bincang dengan Romo namun karena kelelahan yang Romo rasakan maka beliau memberikan kepada kami alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi kami dengan beliau. Kami dapat mengajukan  pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan makalah yang akan kami tulis.
        Kami sempat kecewa karena Romo tidak membalas e-mail kami namun kami tahu bahwa kesibukan beliau-lah yang menjadi penyebabnya. Hal ini tidak mengurangi semangat kami untuk mencari informasi. Inilah yang membuat kami untuk sekali lagi mengunjungi St. Paulus Miki. Pada hari Jumat (7/4), saya dan Lastri pergi ke St. Paulus Miki. Lastri memasuki ruangan kesekretariatan terlebih dahulu daripada saya. Ia bertemu dengan dengan seorang Mbak dan bertanya, “Selamat Siang, Apakah Romo ada?” Mbak itu pun langsung menunjuk Romo yang duduk di sofa sambil memangku kakinya dan membaca buku. Lastri pun menyampaikan maksud kedatangannya. Ia berkata, “Mbak, kami ingin berdiskusi dengan Romo beberapa menit saya.” Mbak ini pun meneruskan keinginan Lastri kepada Romo. Romo ini pun menjawab, “Emoh aku, diskusi seperti apa yang beberapa menit, saya lagi siap untuk dijemput.” Mbak itu pun tersenyum dengan kaget mendengar pernyataan Romo dan mengatakan bahwa Romo sedang menunggu jemputan untuk memimpin misa. Saya yang baru masuk di ruangan tersebut ketika mendengar jawaban dari Romo langsung melihat Lastri dan mengatakan, “Terima kasih Mbak dan Romo.” Kami pun meninggalkan tempat tersebut dan duduk di depan Gereja. Ternyata mobil yang dikatakan hendak menjemput Romo tidak datang-datang.
            Saya bersyukur karena melalui tugas pembuatan makalah eklesiologi, saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dengan Romo. Saya berefleksi bahwa ternyata seorang Romo, pemimpin umat, yang seharusnya menjadi contoh, teladan yang baik bagi orang lain mampu untuk bersikap yang tidak sepatutnya. Awalnya saya bersama lastri kecewa tetapi pada akhirnya saya mencoba berpikir positif sambil menghibur diri bahwa mungkin pada saat itu Romo sedang stress dengan permasalahan yang dihadapinya sehingga membuat emosinya tidak stabil.
            Makalah pun  akhirnya saya selesaikan berdasarkan refleksi pribadi sebagai seseorang yang pernah bersekolah di sekolah Katolik maupun seseorang yang pernah pergi mengunjungi Gua Maria Kerep Ambarawa, wawancara dengan Bpk. Suparanto dan buku-buku serta bahan bacaan yang sesuai dengan judul makalah yang saya tulis.  

Berdasarkan cerita ini maka saya melihat bahwa seorang Mahasiswa memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Seorang Romo memiliki tanggungjawab dalam hal pelayanan. Tanggungjawab ini membawa setiap profesi memiliki kedudukan yang berbeda dan setiap orang pasti memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat setiap profesi tersebut. Seorang Mahasiswa akan di lihat orang sebagai seseorang yang bersifat aktif, kritis, kreatif, dll. Seseorang yag ditahbiskan sebagai Romo akan di pandang sebagai seorang yang suci, berkuasa, tokoh terpandang, pemberi nasehat, pengajar, ramah/baik, dll.

Bagaimana jika seseorang yang ditahbiskan sebagai Romo tidak mampu menjalankan/memiliki karakter-karakter yang seharusnya di miliki?
Bagaimana jika seorang Romo yang seharusnya memberitakan untuk tidak berbuat dosa menimbulkan akar kepahitan (dosa) bagi orang lain?

Pertanyaan yang paling mendasar, di atas semuanya itu adalah "Apakah ini (sikap Romo pada cerita di atas) etis atau tidak ?"




6.25.2011

“KONSEP GEREJA SEBAGAI PEZIARAH MENURUT I PETRUS DALAM GEREJA KATOLIK ROMA DI INDONESIA”

Ini merupakan salah satu tulisan saya guna memenuhi tugas akhir mata kuliah "EKLESIOLOGI"

            Bab VII dari Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Konsili Vatikan II mengemukakan gereja Musafir/gereja Peziarah. Pada bab ini dikemukakan bahwa dalam Yesus Kristus, kita semua dipanggil kepada Gereja dan di situ kita memperoleh kesucian berkat rahmat Allah. Gereja tersebut akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di Surga, bila tiba saatnya maka segala sesuatu diperbaharui secara sempurna dalam Kristus. Pembaharuan ini, janji yang diharapkan, telah dimulai dalam Kristus, digerakkan dengan perutusan Roh Kudus dan berlangsung terus dalam gereja.  Adanya penerimaan tentang hidup yang fana sementara umat melakukan atau pun menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka dengan baik, dalam pengharapan akan adanya kebahagiaan di masa mendatang. Gereja ditandai oleh kesuciaan yang sesungguhnya tidak sempurna. Akan tetapi, akan tiba saatnya langit dan bumi baru terwujud yang diwarnai keadilan. Gereja yang tengah mengembara dalam sakramen dan lembaganya ini, mengemban citra zaman sekarang yang akan berlalu. Gereja berada di tengah alam yang kini berkeluh-kesah dan menanggung sakit bersalin serta merindukan saat anak-anak Allah dinyatakan. Selama mendiami tubuh ini, umat masih jauh dari Tuhan dan berkeluh kesah dalam hati serta mempunyai keinginan untuk bersama dengan Tuhan. Oleh karena itu, umat berusaha untuk dalam segala hal berkenan/menyenangkan hati Tuhan. Umat hidup dalam takut akan Tuhan. Umat pun berusaha untuk mengenakan perlengkapan senjata Allah supaya mampu bertahan dalam menentang tipu muslihat iblis serta mengadakan perlawan pada hari yang jahat. Akan tetapi, karena umat tidak mengetahui kapan datangnya hari itu maka umat wajib berjaga-jaga sesuai nasihat yang disampaikan oleh Tuhan agar setelah mengakhiri pengembaraan/perjalanan hidup di dunia ini, umat dapat hidup bersama dengan Tuhan memasuki pesta pernikahan dan pantas digolongkan sebagai mereka yang diberkati. Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa sebelum umat memerintah bersama Kristus dalam kemulian-Nya, umat akan menghadap “takhta pengadilan Kristus, supaya masing-masing menerima ganjaran bagi apa yang dilakukannya dalam hidup ini entah itu baik atau pun jahat.” Pada akhir zaman “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk kehidupan kekal, sedangkan mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” Maka dari itu, penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Umat pun dalam keteguhan iman mendambakan pengharapan yang membahagiakan serta penyataan kemuliaan Allah dan penyelamat yang Maha Agung, Yesus Kristus, yang mengubah tubuh yang hina sehingga menyerupai tubuh-Nya yang mulia dan yang akan datang untuk dimuliakan di antara para kudus-Nya serta untuk dikagumi oleh semua orang beriman.
            
          Gereja Musafir/peziarah menyadari sepenuhnya persekutuan dalam seluruh tubuh mistik Kristus. Gereja pun merayakan kenangan mereka yang telah meninggal. Ini dianggap sebagai suatu pemikiran yang saleh yakni mendoakan mereka yang meninggal supaya dilepaskan dari dosa-dosa mereka. Gereja selalu percaya bahwa Rasul-rasul dan para martir Kristus yang dengan menumpahkan darah telah memberikan kesaksian iman dan cinta kasih. Gereja sangat menghormati mereka bersama Santa Perawan Maria dan para malaikat Kudus serta memohon bantuan pengantara mereka. Mereka inilah yang merupakan kelompok orang yang meneladani keperawanan dan kemiskinan Kristus, mengamalkan keutamaan kristiani serta menampilkan kurnia-kurnia ilahi. Inilah yang wajib diteladani oleh setiap umat beriman. Melalui mereka, umat mendapatkan dorongan baru untuk hidup suci, mencapai persatuan dengan Kristus. Mereka yang sama-sama manusia seperti umat, namun secara sempurna menjadi serupa dengan citra Kristus. Inilah yang melatarbelakangi sehingga dalam diri mereka Allah menyapa umat dan menyampaikan tanda kerajaan-Nya kepada umat. Umat pun tidak merayakan kenangan orang-orang kudus tersebut hanya karena teladan mereka melainkan agar diteguhkannya persatuan segenap Gereja dalam Roh dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan. Seperti halnya persekutuan kristiani antara para musafir (para orang-orang beriman yang masih hidup) yang mengantarkan untuk dekat dengan Kristus, begitu pula keikutsertaan dengan para kudus yang menghubungkan umat dengan Kristus. Umat pun sudah sepantasnya mengucap syukur kepada Allah atas mereka.

            Gereja bagaikan seseorang yang berada dalam suatu pejalanan dan belum tiba di tempat tujuan namun terus di dorong maju oleh suatu kerinduan untuk mencapai tujuan ziarah. Gereja sebagai peziarah pun adalah dasar dari surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II “Tertio Millennio Adveniente” yang mengemukakan bahwa seluruh kehidupan Kristiani bagaikan suatu ziarah agung menuju rumah Bapa.

Surat Petrus yang pertama termasuk ke dalam surat-surat Perjanjian Baru yang dikenal sebagai surat-surat Katolik atau umum sebab surat ini diterima sebagai Tulisan Suci oleh semua gereja. [3] I Petrus merupakan surat edaran pada jemaat di Asia Minor. Pembacanya ada di tempat buangan dan terasing. Ini dapat berarti bahasa figuratif dikarena dunia ini dianggap sebagai tempat sementara (1:13,17) dan menunjuk pada masyarakat marginal (jemaat yang mengalami penganiayaan). Penulis surat ini tidak diketahui identitasnya walaupun dalam tradisi tua menyebutkan bahwa I Petrus benar karangan rasul Petrus. I Petrus adalah salah satu di antara beberapa surat pesudonimus di bawah nama Petrus (Injil Petrus, Kisah Petrus, Surat-surat Petrus yang lain).[4]

Berdasarkan pemahaman eklesiologi yang saya dapatkan melalui penjelasan Bpk. Yusak B. Setyawan dalam perkuliahan Eklesiologi mengenai gereja sebagai peziarah menurut I Petrus maka saya dapat mengemukakan bahwa gambaran gereja yang menonjol dari I Petrus ialah Gereja sebagai “orang asing” dan “peziarah”. Referensi mengenai Israel tidaklah nampak.  Umat baru Allah, dipahami sebagai orang asing/pendatang di dunia ini. Gereja sebagai peziarah (paroikhia) harus hidup dalam takut akan Tuhan (1:17). Hidup ini hanya sementara, orang kristen hanya menumpang dalam dunia ini, sehingga segala hal yang menyenangkan/berkenan kepada Allah dilakukan dan mereka menjadi orang-orang yang hidup dengan takut akan Tuhan. Penulis I Petrus juga melihat dunia ini sebagai tempat yang penuh dengan pencobaan dan penderitaan, namun demikian sukacita pemilihan dan pembebasan harus dialami dan persekutuan persaudaraan menguatkan satu sama lain. Penulis memandang kehidupan Kristen di dunia ini dan sifat Gereja sebagai eskatologis.

Orang-orang pendatang dalam I Petrus 1:1-2 dikenal juga sebagai orang-orang yang dipilih sesuai dengan rencana Allah dan yang dikuduskan oleh Roh yakni suatu kelompok yang telah diprakarsai oleh Allah. Kelompok ini merupakan suatu kesatuan yang hanya berdasarkan keselamatan oleh Allah di dalam Kristus. Gagasan mengenai orang-orang pendatang ini yang akan sangat mempengaruhi tingkah laku ( I Petrus 1 : 17).[5] Dalam surat ini pun penulis mengemukakan tentang kehidupan orang Kristen yang benar dan baik (1 Petrus 2:11-17).

Jika melihat data-data yang telah dikemukakan maka saya melihat adanya kesamaan antara konsep gereja sebagai peziarah dalam Gereja Katolik Roma maupun konsep gereja sebagai peziarah dalam I Petrus. Mengapa ada kesesuaian diantara keduanya bahkan konsep gereja sebagai ziarah merupakan bagian yang penting dalam gereja Katolik Roma serta menjadi suatu cara umat Katolik dalam melihat kehidupan ini dan menentukan perilaku/perkataan dalam hidup sehari-hari?

Saya berpendapat bahwa ini dikarenakan keutamaan Petrus dalam gereja Katolik Roma. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tradisi tua menyatakan bahwa Petrus-lah penulis dari surat I Petrus, walaupun di kemudian hari terjadi perdebatan yang meragukan hal ini namun masih banyak teolog-teolog yang mengakui bahwa penulis I Petrus ialah Petrus.

Kesamaan antara konsep gereja sebagai peziarah dalam Gereja Katolik Roma maupun konsep gereja sebagai peziarah dalam I Petrus.  Kesamaan ini terletak pada pemahaman bahwa Gereja sebagai peziarah yang tengah mengembara di dunia ini. Akan tetapi, Gereja tersebut akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga (sifat gereja sebagai eskatologis). Umat Allah pun hendaknya hidup dalam takut akan Tuhan karena hidup ini hanya sementara. Umat pun hendaknya hidup dalam suatu persekutuan persaudaraan yang menerapkan cinta kasih antara satu sama lain. Kesamaan pandangan ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa konsep gereja sebagai peziarah menurut I Petrus benar-benar diaplikasikan dalam gereja Katolik Roma. Di samping itu terlihat adanya suatu pengembangan dari konsep gereja sebagai peziarah menurut I Petrus dalam gereja Katolik Roma yakni pemahaman bahwa persekutuan persaudaraan itu bukan hanya umat Allah yang masih mengembara di dunia ( yang masih hidup) namun juga mereka yang meninggal dan mengalami penyucian serta yang telah menikmati kemuliaan. Orang-orang kudus/orang yang telah meninggal dan mendapatkan kemuliaan karena darah mereka yang merupakan kesaksian iman dan cinta kasih merupakan penghubung atau perantara antara umat Allah dengan Allah sehingga umat kemudian memohon bantuan perantara mereka. Inilah alasan dibalik ziarah yang dilakukan oleh para umat Katolik Roma.

 Gereja sebagai institusi mempunyai peran yang mendominasi gereja Katolik Roma. Hal ini terlihat dari pengertian gereja Katolik Roma itu sendiri yakni sebagai adalah persekutuan Kristen yang dipimpin oleh Paus, Uskup Roma, dan percaya pada keyakinan yang dijelaskan dalam kredo dan keputusan yang dibuat oleh konsili gereja awal. Pada pengertian ini, kita bisa melihat ciri khas dari gereja sebagai institusi yakni terdapat penekanan pada kekuasaan dan otoritas hierarkis, posisi klerus diutamakan pada hierarki, penekanan pada aspek yuridis (hukum dan sanksi) dan sifat triumfalis Gereja (kesatuan tempur). Gambaran dari hierarki gereja seperti sebuah piramida dimana pada bagian bawah, bagian yang paling luas adalah tempat dari kaum awam (semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja) dan yang paling atas adalah Paus. Infalibilitas Paus adalah bukti konkret dari gereja sebagai institusi.
       
            Konsep gereja sebagai peziarah menurut I Petrus, benar diterapkan dalam gereja Katolik Roma, akan tetapi terdapat perkembangan pemikiran dari konsep gereja ini yakni gereja yang digambarkan sebagai peziarah yang sedang mengembara di dunia ini dan umat Allah sebagai orang asing yang hidup menumpang di dunia ini sehingga diterapkanlah suatu hidup yang takut akan Allah, berkembang menjadi suatu pemahaman untuk menghormati dan berdoa kepada orang-orang kudus dengan cara berziarah ke tempat-tempat suci tertentu dengan maksud untuk meminta bantuan perantara atau sebagai penghubung antara umat Allah dengan Allah. Konsep gereja ini menjadi suatu cara umat Katolik dalam melihat kehidupan ini dan menentukan perilaku/perkataan dalam hidup sehari-hari.
           
DAFTAR PUSTAKA
 Barclay, William, Penulis dan Warta Perjanjian Baru, Ende : Nusa Indah, 2010
........................., Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Surat Yakobus, 1&2 Petrus, Jakarta : BPK Gunung 
              Mulia, 1983. 
Dulles, Avery,  Model-Model Gereja, Ende : Nusa Indah, 1987.
Duyverman, M. E., Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996.
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999.
Hahn, Scott, Mengapa Beriman? (Memahami, Menjelaskan dan Membela Iman Katolik), Malang: Dioma, 2008.
Hardawiryana, R. (penerjemah),  Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta : Obor, 1993.
Jacobs, Tom, Gereja menurut Vatikan II, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
Rausch, Thomas P., Katolisisme (Teologi bagi Kaum Awam), Yogyakarta : Kanisius, 2001.
Ray, Stephen K., Upon This Rock, San Fransisco : Ignatius Press, 1999.
Setyawan, Yusak,  Handouts Eklesiologi Fakultas Teologi UKSW, Salatiga. 
..........................., Introduction to the New Testament Faculty of Theology, Salatiga, 2010.
Disini Karunia Allah Mengalir : Buku Kenangan Gua Maria Kerep Ambarawa, Ambarawa : Tim Pengelola Gua Maria Kerep, 2010.


[1] Yusak B. Setyawan, Handouts Eklesiologi Fakultas Teologi UKSW,Salatiga, hal. 1-4.
[2]  Diunduh dari http://azteria.blogspot.com/2008/08/iman-katolik.html, pada hari Selasa, 5 April 2011.
[3] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Surat Yakobus, 1& 2 Petrus, (Jakarta, 2010), Hal. 219-220.
[4] Yusak B. Setyawan, Introduction to the New Testament, (Salatiga, 2010), hal. 82-84.
[5] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, (Jakarta, 2001), hal. 116.
[6]  Stephen K. Ray, Upon this Rock, (San Francisco, 1999),  Hal. 23.
[7]  Disini Karunia Allah Mengalir : Buku Kenangan Gua Maria Kerep Ambarawa, (Ambarawa, 2010), hal 1-6.