Penerimaan adalah hal yang paling diinginkan oleh setiap orang.
Bagi saya, penerimaan adalah kata yang menjelaskan bagaimana kita harus menerima seseorang secara otentik. Bukan hanya sekedar menerima, tetapi dengan menerima kita bertemu dan merangkul orang yang kita terima tersebut secara utuh, secara otentik. Just the way he/she is. :)
Penerimaan tersebut tidak menuntut balasan dari orang yang kita terima.
Penerimaan memikul konsekuensi yang sangat besar dalam dirinya.
Well,
Tidak pernah ada seorang pun yang ingin ditolak.
Tidak pernah ada seorang pun yang ingin diperlakukan secara semena-mena.
Tidak pernah ada seorang pun yang ingin menderita karena kesepian dan atau kesendirian.
Semuanya ingin diterima secara otentik.
Ketika kita menginginkan suatu penerimaan yang otentik sebenarnya kita telah digerakkan untuk menerima orang lain juga secara otentik.
Awalnya saya merasa ini teori yang sangat sederhana, suatu teori tentang hospitalitas.
Tanpa disadari,
saya dikejutkan oleh diri saya sendiri karena hal penerimaan yang tampaknya sangat sederhana tersebut belum saya kerjakan.
Saya memang diperhadapkan dengan begitu banyak orang dengan segala narasi kehidupannya.
Banyak pilihan-pilihan salah yang telah membuat mereka hancur.
Dalam kekristenan, pilihan salah tersebut dapat dikategorikan sebagai dosa.
Dosa seks pra-nikah sangat dominan dilakukan oleh orang-orang yang sangat saya cintai.
Yah, mereka memang berdosa, namun mereka telah mengakui dosanya di hadapan Tuhan.
Mereka telah meminta suatu pengampunan dosa.
Apakah Tuhan menjawab doa mereka?
Apakah dengan berdoa dosa mereka diampuni?
Well, saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang mencakup aspek Yang Transenden.
Namun, hal yang saya ingin bicarakan bukanlah dalam bingkai pertanyaan tersebut.
Hal yang ingin saya tekankan adalah respon dari pihak kita kepada mereka.
Dapatkah kita menerima mereka?
Wah, saya mengalami sendiri bahwa sangat gampang untuk mengatakan bahwa, "Ya, kita dapat menerima mereka".
Namun, setelah sekian lama saya tersadar bahwa menerima itu bukan hanya mengajak mereka berbicara, tertawa, berjalan-jalan sambil menikmati makanan dan minuman, dan lain sebagainya.
Penerimaan itu menerima mereka secara otentik.
Jika calon suamimu mengaku bahwa ia pernah melakukan dosa seks pra-nikah apakah kamu tetap menjadikan dia sebagai pasanganmu?
Pada satu sisi, kamu sangat mencintainya. Pengakuannya sebelum menikah pun dikarenakan rasa cintanya yang begitu dalam. Kejujuran disertai oleh perasaan malu untuk membongkar aib yang selama ini ditutupi tersebut, haruskah disertai oleh pemutusan hubungan dari kita?
Berat khan?
Penerimaan itu bukan hal yang sederhana.
Kita ingin diterima, tapi siapkah kita menerima?
Menerima itu mengandung aspek mencintai dan mengampuni kesalahan, bukan dengan cara melupakan, karena bagaimana seorang mengampuni jika ia melupakan kesalahannya.
Well,
pada akhirnya saya belajar bahwa menerima itu mencintai orang yang kita terima secara otentik, merangkulnya dan perangkulan tersebut disertai dengan aspek pengampunan.
Siap untuk mencintai itu siap untuk terluka,
Siap untuk mencintai itu siap untuk meruntuhkan segala idealisme kita yang kadangkala sangat kita impikan.
Siap untuk mencintai itu siap untuk menerima kejujuran.
Siap untuk mencintai itu siap untuk mengampuni.
Siap untuk mencintai itu siap untuk berjumpa dalam perangkulan yang otentik.
Selamat mencintai ^_^
With love,
ABL
No comments:
Post a Comment